Home » ensiklopedia » Pendidikan » Perbedaan Kebijakan Pajak Indonesia dengan Pajak menurut Islam

Perbedaan Kebijakan Pajak Indonesia dengan Pajak menurut Islam

Sawah Maya Juni 10, 2023

PENDIDIKAN I Salah satu sumber pendanaan terbesar atas pembiayaan semua pengeluaran pemerintah yang di dapat saat ini adalah melalui pajak. Upaya meningkatkan optimalisasi penerimaan pajak. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan beberapa usaha. Salah satunya, dengan membidik wajib pajak baru melalui program ekstensifikasi. Kendala besar dalam upaya meningkatkan optimalisasi penerimaan pajak tersebut. Salah satunya adalah pajak belum di terima sebagai sebuah kewajiban keagamaan, sebagaimana halnya zakat bagi mayoritas kaum muslim. Masalah kedua yang membuat kaum muslim menjadi enggan membayar pajak adalah adanya dualisme pemungutan dengan pajak (double taxes). Jadi seorang muzakki (Wajib Zakat), juga sebagai wajib pajak. Masalah ketiga adalah minimnya alokasi uang pajak untuk kaum miskin.

Pada masa Umar sumber-sumber devisa negara semakin bertambah banyak. Dia mulai mengembangkan sistem pajak dan mengangkat pegawai yang di gaji untuk mengurusi lembaga tersebut (Muhammad Ash-Shalabi, 2008:358). Pada masa ini pendapatan negara meningkat tajam dan Baitul Mal di dirikan secara permanen di pusat kota dan ibukota provinsi. Pada masa pemerintahannya.Khalifah Umar bin Al-Khathab mengklasifikasikan pendapatan (devisa) negara dan pendistribusian pendapatan negara (belanja negara) menjadi empat bagian, yaitu Zakat dan Usyur; Ghanimah (khums) dan sedekah; Kharaj, Fa’i, Jizyah, dan Sewa Tanah; dan Pendapatan lain-lain.

Pajak Di Indonesia

Pajak (dari bahasa Latin taxo; “rate”) adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang. Dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan di pergunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak di pungut berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Penolakan untuk membayar, penghindaran, atau perlawanan terhadap pajak pada umumnya termasuk pelanggaran hukum. Pajak terdiri dari pajak langsung atau pajak tidak langsung dan dapat di bayarkan dengan uang ataupun kerja yang nilainya setara. Beberapa negara sama sekali tidak mengenakan pajak, misalnya Uni Emirat Arab. Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Jenis-jenis pajak di Indonesia di kelompokkan berdasarkan cara pemungutan, sifat dan lembaga pemungutnya. Jenis-jenis pajak berdasarkan cara pemungutannya terdiri dari pajak langsung dan pajak tidak langsung. Jenis-jenis pajak berdasarkan sifatnya terdiri dari pajak subjektif dan pajak objektif. Sementara jenis-jenis pajak berdasarkan lembaga pemungutannya terdiri dari pajak pusat dan pajak daerah.

Pajak Langsung adalah pajak yang bebannya di tanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat di alihkan kepada orang lain. Dengan kata lain, proses pembayaran pajak harus di lakukan sendiri oleh wajib pajak bersangkutan. Seorang anak, misalnya, tidak boleh mengalihkan pajak kepada orangtuanya. Begitupun seorang suami tidak boleh mengalihkan kewajiban pajaknya pada istri. Sedangkan Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang bebannya dapat di alihkan kepada pihak lain karena jenis pajak ini tidak memiliki surat ketetapan pajak. Artinya, pengenaan pajak tidak di lakukan secara berkala. Melainkan di kaitkan dengan tindakan perbuatan atas kejadian sehingga pembayaran pajak dapat di wakilkan kepada pihak lain.

Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal pada subjeknya sedangkan pajak objektif berpangkal kepada objeknya. Suatu pungutan di sebut pajak subjektif karena memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh pajak subjektif adalah pajak penghasilan (PPh) yang memperhatikan tentang kemampuan wajib pajak dalam menghasilkan pendapatan atau uang. Pajak objektif merupakan pungutan yang memperhatikan nilai dari objek pajak. Contoh pajak objektif adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari barang yang di kenakan pajak.

Pajak pusat adalah pajak yang di pungut dan dikelola oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini sebagian besar dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Hasil dari pungutan jenis pajak ini kemudian di gunakan untuk membiayai belanja negara seperti pembangunan jalan, pembangunan sekolah, bantuan kesehatan dan lain sebagainya. Berbeda dengan pajak pusat/ nasional, pajak daerah merupakan pajak-pajak yang di pungut dan di kelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Hasil dari pungutan jenis pajak ini kemudian di gunakan untuk membiayai belanja pemerintah daerah.

Contoh pajak yang di kelola oleh pemerintah pusat, antara lain Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB perkebunan, Perhutanan, Pertambangan). Sedangkan pajak yang di kelola pemerintah daerah terdapat dua kategori yaitu pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota. Pajak provinsi terdiri dari Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok. Sedangkan pajak kabupaten/kota terdiri dari Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Bantuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.

Dharibah (Pajak) menurut Islam

Secara etimologi, pajak dalam bahasa arab di sebut dengan istilah Dharibah, yang artinya: mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan, membebankan dan lain-lain. Syariat Islam juga mengenal pembayaran yang mirip dengan dharibah, yaitu jizyah dan kharraj. Perbedaan ketiganya terletak pada objek yang di kenakan beban. Dharibah adalah pajak yang di kenakan atas al-mal atau harta benda. Gusfahmi (2007) menyebutkan beberapa ketentuan tentang pajak (dharibah) menurut Islam, yang membedakan dengan pajak dalam sistem non-Islam, yaitu:

  1. Pajak (dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat kontinu, hanya boleh di pungut ketika di baitul mal sudah tidak ada harta atau kurang. Ketika baitul mal sudah terisi kembali, maka kewajiban pajak bisa di hapuskan.
  2. Pajak (dharibah) hanya boleh di pungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum muslim dan sebatas jumlah yang d iperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih.
  3. Pajak (dharibah) hanya di ambil dari kaum muslim dan tidak di pungut dari non-muslim. Sebab, pajak (dharibah) di pungut untuk membiayai keperluan yang menjadi kewajiban bagi kaum muslim, yang tidak menjadi kewajiban bagi kaum non-muslim.
  4. Pajak (dharibah) hanya di pungut dari kaum muslim yang kaya, tidak di pungut dari selainnya. Orang kaya adalah orang yang memiliki kelebihan harta dari pembiayaan kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya bagi dirinya dan keluarganya menurut kelayakan masyarakat sekitarnya.
  5. Pajak (dharibah) hanya di pungut sesuai dengan jumlah pembiayaan yang di perlukan,tidak boleh lebih.
  6. Pajak (dharibah) dapat di hapus bila sudah tidak di perlukan.

Kharaj adalah kata bahasa Arab yang berasal dari bahasa Yunani, dan juga di ambil dari bahasa Roma, Byzantium dan Yunani Kuno yang artinya pajak. Namun, sepanjang sejarah pajak publik Islam istilah kharaj di gunakan untuk pajak tanah (The Encyclopaedia of Islam,1997:1030). Kalau di lihat secara bahasa, kharaj adalah pajak atau pendapatan yang di dapatkan dari masyarakat (Ibn Manzur, 1990: 251). Dapat juga di artikan sebagai upeti (Abu Ubaid, 1986: 75).

Sedangkan sebagian ulama lain mendefinisikan sebagai pendapatan, pendapatan publik, tarif dan upeti (Al-Rais, 1969:8). Selain itu, kharaj juga dapat di artikan sebagi reward atau hadiah seperti yang terdapat dalam sabda Nabi Muhammad SAW yang di riwayatkan oleh Abu Daud, ketika itu beliau mengusulkan agar tarif kharaj untuk Abu Tiba di kurangi. Istilah kharaj dalam hadits tersebut dapat di pahami sebagai retribusi yang di kenakan kepada pengusaha terhadap budak mereka. Al-Baladhuri juga meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah memerintahkan dua imam Najrani untuk mengambil sumpah (mubahalah), tetapi sebaliknya mereka memilih untuk membayar kharaj (Hasanuzzaman, 1991: 197).

Jizyah adalah pembayaran yang dibebankan kepada orang non-Muslim untuk menjamin keselamatan jiwa yang bersangkutan. Atas dasar itulah, konsep dharibah punya perbedaan dengan konsep pajak modern. Jika dharibah bersifat kondisional, pajak berlaku secara berkelanjutan. Di samping itu, dharibah hanya dipungut dari orang-orang Islam yang kaya sedangkan pajak diambil dari siapa saja tanpa membedakan agama.

Perbedaan lainnya, dharibah hanya dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat Islam, tetapi pajak digunakan untuk kepentingan umum. Dan, dharibah hanya dipungut untuk memenuhi target yang telah ditentukan, dan setelah itu dharibah dihapuskan. Sedangkan, pajak tidak mungkin dihapuskan.

Kebijakan Pajak pada Masa Umar Bin Al-Khathab

Pada masa Umar bin Al-Khathab kebijakan pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam pemerintahan. Kebijakan pajak mempunyai peranan yang penting dalam hal pemasukan (devisa) dan pengeluaran (belanja) negara.

Adapun yang menjadi lembaga pengelola kebijakan pajak di masa Umar bin AlKhathab yaitu Baitul Mal yang merupakan suatu lembaga yang mengatur pemasukan dan pengeluaran negara. Selama memerintah, Umar bin Al-Khattab tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati, menerima pemasukan dari sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh Ibnu Katsir yaitu seorang penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata,

“Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum Muslim.”

Di masa Umar bin Al-Khathab, pendirian institusi Baitul Mal yang merupakan lembaga kebijaksanaan pajak yang sudah lengkap dengan departemen-departemennya (diwan), kantor/ sekretariat, struktur organisasi, pegawai, gaji pegawai, administrasi, akuntansi, dan fasilitas pendukung lainnya berikut pendirian cabang-cabangnya di provinsi (Abdul Azis Dahlan, 1996:186).

Dalam hal penyusunan anggaran, beliau menggunakan prinsip anggaran berimbang pada masa awal pemerintahannya dan seterusnya Umar menggunakan prinsip anggaran surplus sampai akhir pemerintahannya kecuali pada saat krisis tahun Ramadah digunakan anggaran defisit. Adapun yang menjadi sumber-sumber pemasukan (devisa) pada masa Umar bin Al-Khathab adalah zakat, usyur, khums (ghanimah), sedekah, kharaj, fa‟i, jizyah, dan pendapatan lain-lainnya

Hubungan Kebijakan di Masa Umar Bin Khathab dengan Kebijakan dalam Pemerintahan Indonesia saat Ini

Secara umum, kebijakan pajak di masa khalifah Umar bin Al-Khathab mempunyai banyak perbedaan dengan kebijakan pajak di Indonesia. Hal ini terjadi karena di masa Umar bin Al-Khathab sistem ekonomi yang digunakan bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis sedangkan ekonomi di Indonesia pada saat ini menggunakan sistem ekonomi campuran yaitu perpaduan antara ekonomi kapitalisme dengan ekonomi sosialisme yang bersumber dari pemikiran manusia.

Kebijakan pajak (devisa dan belanja negara) menurut Islam harus sepenuhnya sesuai dengan prinsip syariah atau nilai-nilai Islam. Tujuan pokok syariah Islam adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umat manusia (mashlahah ‘ammah), baik mashlahah dunia maupun akhirat. Karena itu, kesejahteraan ekonomi manusia yang bersifat material bukan semata menjadi tujuan kebijakan pajak, tetapi juga harus dii mbangi dengan pembangunan nilai-nilai moral spiritual.

Dalam perkembangannya, kebijakan pajak (devisa dan belanja negara) dapat di bedakan menjadi empat macam atas dasar: (1) pembiayaan fungsional (functional finance), (2) pengelolaan anggaran (the managed budget approach), (3) stabilisasi anggaran otomatis (stabilizing budget), (4) anggaran belanja seimbang (balanced budget approach). Adapun yang menjadi sumber-sumber devisa (pendapatan) negara Islam pada masa Umar bin Al-Khathab adalah zakat, usyur, ghanimah (khums), sedekah, kharaj, fa’i, jizyah, dan pendapatan lainlainnya. Sedangkan sumber-sumber devisa (pemasukan) negara Indonesia terdiri dari penerimaan pajak (pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional) dan penerimaan negara bukan pajak yang terdiri dari penerimaan SDA, bagian laba BUMN, PNBP lainnya dan pendapatan BLU. Sedangkan belanja negara Indonesia pada saat ini terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.

Penulis: Joko Nurhuda, Mahasiswa S2 Akuntansi, Universitas Jember

Tinggalkan komentar

Artikel Terkait